no-style

Analisis Hukum Terhadap Eksekusi Dwangsom (Uang Paksa) dalam Perkara Perdata

, September 04, 2025 WIB Last Updated 2025-09-04T10:22:12Z







JAKARTA_||

Tujuan utama suatu proses pengadilan adalah untuk memperoleh putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, artinya suatu putusan hakim tidak dapat diubah lagi. Ketentuan pada Pasal 195 Ayat (1) HIR/Pasal 206 Ayat (1) RBg yang menyatakan bahwa: 


"Dalam perkara perdata oleh karena pihak yang menang telah memperoleh putusan hakim yang

menghukum pihak lawannya maka ia berhak dengan alat-alat yang diperbolehkan oleh undang-undang untuk memaksa pihak lawan guna mematuhi putusan hakim itu."


Hak ini memang sudah selayaknya, sebab kalau tidak ada kemungkinan untuk memaksa orang yang

dihukum maka peradilan akan tidak ada gunannya.


Tuntutan Uang Paksa (Dwangsom) dalam Teori dan Praktik, dapat diartikan mengartikan uang paksa sebagai suatu tuntutan tambahan yang dilakukan oleh Penggugat/Para

Penggugat (Eiser/Plaintiff) kepada pihak Tergugat/Para Tergugat (Gedaagde/Defendant).


Seperti diketahui jika merujuk ketentuan Pasal 606a dan 606b RV, paling tidak ada dua hal yang harus menjadi patokan dalam menjatuhkan dwangsom, yaitu:


1. Dwangsom tidak dapat dijatuhkan terhadap putusan hakim yang hukuman pokoknya berupa pembayaran uang; 


2. kemungkinan eksekusi riil bukan halangan untuk menjatuhkan hukuman dwangsom


Eksekusi atas hukuman dwangsom dilakukan dengan cara verhaal executie, yang tidak lain sebagaimana eksekusi pembayaran sejumlah uang, yakni dengan cara terlebih dahulu meletakkan sita eksekusi (eksecutorial beslag) atas barang-barang milik tergugat, untuk kemudian dijual dengan cara lelang melalui Kantor Lelang Negara.


Dasar hukum pemberlakuan atau penerapan uang dwangsom menurut teoritis dan praktik peradilan di Indonesia diatur dalam Pasal 606 a dan Pasal 606 b BRv. Penerapan lembaga dwangsom dalam praktik peradilan di Indonesia selain didasarkan pada ketentuan Pasal 606a dan 606b BRv, juga didasarkan pada yurisprudensi antara lain putusan Mahkamah Agung Nomor 38 K/SIP/1967, Putusan Mahkamah Agung No. 791K/Sip/1972, Putusan Mahkamah Agung No. 307K/Sip/1976 dan Putusan Mahkamah Agung No.3888K/Pdt/1994.


Masalah lembaga dwangsom (uang paksa) meliputi landasan hukum yang dianggap tidak memadai, seperti hanya diatur dalam dua pasal di RV (Reglement op de burgerlijke rechtsvordering), inkonsistensi putusan hakim dan misinterpretasi fungsinya sebagai hukuman tambahan untuk memaksa pihak yang kalah mematuhi putusan yang bukan pembayaran uang, serta kendala dalam pelaksanaannya seperti faktor ekonomi atau kesulitan eksekusi secara riil.


Gilang SH/red

Komentar

Tampilkan

  • Analisis Hukum Terhadap Eksekusi Dwangsom (Uang Paksa) dalam Perkara Perdata
  • 0

Kabupaten