
Bogor,
5 okt 2025 — Warga Kecamatan Rumpin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, dibuat resah oleh maraknya praktik pengoplosan gas elpiji 3 kilogram (kg) atau yang dikenal sebagai gas melon menjadi tabung non-subsidi ukuran 12 hingga 15 kg. Aktivitas ilegal ini diduga telah berlangsung cukup lama dan dilakukan secara terorganisir di wilayah sekitar Landasan Udara Rumpin.
Ironisnya, praktik tersebut disebut-sebut dikoordinir oleh seorang berinisial R (Robin), yang diduga menjadi pengendali utama jaringan pengoplosan gas bersubsidi di kawasan tersebut.
Warga yang geram akhirnya melakukan aksi protes di depan Kantor Bupati Bogor pada Senin (25/8/2025), menuntut pemerintah daerah dan aparat penegak hukum untuk segera menindak tegas para pelaku yang dianggap merugikan masyarakat kecil dan negara.
Modus Operandi Pengoplosan Gas Bersubsidi,Para pelaku diduga membeli tabung gas subsidi 3 kg dari pengecer dengan harga normal, kemudian memindahkan isinya ke tabung 12 hingga 15 kg menggunakan alat pemindah tekanan khusus. Gas hasil oplosan tersebut kemudian dijual kembali dengan harga tinggi seolah-olah merupakan gas non-subsidi resmi.
Modus ini menghasilkan keuntungan berlipat bagi pelaku, namun sangat merugikan masyarakat dan negara.
Akibatnya, pasokan gas 3 kg untuk rumah tangga miskin dan usaha mikro di wilayah Bogor, Tangerang, dan Banten menjadi berkurang hingga 30%, menurut sumber lapangan yang enggan disebut namanya.
“Sulit sekali mendapatkan gas 3 kg beberapa bulan terakhir, padahal sebelumnya selalu ada,” ujar salah satu warga Desa Sukasari, Rumpin.
Dampak dan Kerugian Negara,Pengoplosan gas bersubsidi tidak hanya merugikan warga kecil, tetapi juga menimbulkan kerugian besar bagi keuangan negara.
Gas LPG 3 kg mendapat subsidi dari pemerintah agar terjangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah. Ketika gas tersebut dioplos dan dijual dengan harga non-subsidi, subsidi negara secara tidak langsung diselewengkan untuk keuntungan pribadi para pelaku.
Selain itu, pengoplosan gas secara ilegal sangat berbahaya, karena proses pemindahan gas antar tabung tidak sesuai standar keselamatan Pertamina.
Kebocoran kecil saja bisa memicu ledakan atau kebakaran yang membahayakan lingkungan sekitar.
Diduga Ada Oknum yang Terlibat,Informasi yang beredar menyebutkan adanya dugaan keterlibatan oknum aparat penegak hukum (APH), lembaga, dan bahkan sebagian oknum media yang turut membekingi aktivitas pengoplosan tersebut.
Hal inilah yang membuat masyarakat semakin marah, karena menilai hukum seperti tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
“Kalau rakyat kecil yang salah, langsung ditangkap. Tapi kalau sudah ada ‘orang kuat’ di belakangnya, semua diam,” ujar salah satu warga yang ikut aksi.
Istilah “No Viral, No Justice” pun kembali mencuat dari para pengunjuk rasa, menandakan keresahan terhadap lemahnya penegakan hukum di tingkat daerah.
Pasal Hukum yang Dilanggar,Tindakan pengoplosan gas LPG 3 kg ke tabung non-subsidi secara jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Beberapa pasal yang relevan di antaranya:
-
Pasal 55 UU Migas:
“Setiap orang yang menyalahgunakan pengangkutan dan/atau niaga bahan bakar minyak, gas bumi, dan/atau hasil olahan tertentu yang disubsidi pemerintah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling tinggi Rp60.000.000.000,00 (enam puluh miliar rupiah).” -
Pasal 53 huruf c UU Migas:
“Setiap orang yang melakukan kegiatan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, niaga, dan/atau kegiatan usaha penunjang tanpa izin usaha, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling tinggi Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah).”
Selain itu, kegiatan ini juga dapat dijerat dengan Pasal 62 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, karena memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan standar keamanan.
Tuntutan Masyarakat dan Seruan Penegakan Hukum,Dalam aksinya, warga mendesak Bupati Bogor Rudy Susmanto untuk segera berkoordinasi dengan aparat kepolisian, Satpol PP, dan Pertamina guna membongkar jaringan pengoplosan gas di wilayah Rumpin.
Masyarakat berharap pemerintah tidak menutup mata terhadap praktik yang sudah “mengakar” dan melibatkan banyak pihak ini.
“Jangan sampai mafia gas ini dibiarkan terus merajalela. Kami butuh tindakan nyata, bukan sekadar janji,” tegas salah satu orator aksi.
Kasus pengoplosan gas bersubsidi di Rumpin menjadi potret nyata lemahnya pengawasan terhadap distribusi energi bersubsidi di Indonesia.
Jika praktik seperti ini dibiarkan, bukan hanya merugikan masyarakat kecil, tetapi juga menggerus kepercayaan publik terhadap penegakan hukum dan integritas pemerintah daerah.
A GP