
Jambi, 19 September 2025 – Praktik ilegal drilling dan penyulingan minyak bumi mentah tanpa izin kian marak di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. Ironisnya, aktivitas ilegal yang jelas-jelas melanggar Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ini berlangsung terbuka, namun terkesan dibiarkan begitu saja oleh pemerintah daerah dan aparat penegak hukum.
Investigasi lapangan yang dilakukan Tim Tipikorinvestigasinews.id (Korwilnas) bersama jurnalis dari sejumlah media, termasuk Jurnal Investasi Mabes dan Mitra Mabes News.id, menemukan fakta mengejutkan di Desa Bulian Baru, Kecamatan Muara Bulian. Di berbagai titik lokasi, masyarakat melakukan penyulingan minyak mentah tradisional dengan kapasitas besar dan distribusi terorganisir.
Aktivitas Ilegal yang Menjadi Rutinitas Berdasarkan pantauan tim, setiap titik penyulingan mampu menampung Rp200 ribu–Rp250 ribu per jirigen, dengan para pekerja hanya menerima upah Rp30 ribu per jirigen. Minyak hasil sulingan selanjutnya dikirim ke lokasi pengolahan untuk dijadikan BBM komersial, seperti Pertalite, Pertamax, Solar, hingga Dexlite.
“Ini bukan aktivitas kecil-kecilan, tapi sudah seperti industri terselubung. Ironisnya, semua berlangsung terang-terangan tanpa ada tindakan dari aparat,” ungkap salah satu anggota tim investigasi.
Sejumlah narasumber di lokasi juga mengungkapkan bahwa praktik ilegal tersebut sudah berlangsung lama, namun tak pernah tersentuh operasi penertiban. Aparat kepolisian, termasuk Polres Sarolangun, dinilai hanya “tutup mata” terhadap maraknya ilegal drilling yang merugikan negara miliaran rupiah setiap bulannya.
Pelanggaran Berat UU Migas dan Aturan Migas No. 22 Tahun 2001 mengatur ketat kegiatan usaha hulu dan hilir minyak bumi, mulai dari eksplorasi, eksploitasi, pengolahan, pengangkutan, penyimpanan hingga niaga. Semua aktivitas wajib memiliki izin resmi (IUP/BU/T) dari pemerintah.
Selain itu, regulasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan bahwa pengeboran maupun penyulingan tanpa izin berpotensi menimbulkan bencana lingkungan, kebakaran, hingga pencemaran tanah dan air, serta mengacaukan sistem tata niaga energi nasional.
“Jika negara abai, jelas publik patut curiga: siapa yang bermain di balik bisnis gelap ini? Apakah ada oknum yang menikmati keuntungan dari pembiaran tersebut?” kata seorang pemerhati energi di Jambi.
Tim investigasi media berencana membawa temuan ini ke ranah hukum dengan melaporkan secara resmi kepada Polda Jambi, Polresta Jambi, hingga Kapolres Sarolangun, serta mendorong Kementerian ESDM untuk turun langsung ke lapangan.
Mereka menilai pemerintah dan APH telah gagal menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum, sehingga praktik ilegal drilling kian berkembang menjadi jaringan bisnis gelap yang merusak.
“Negara jelas dirugikan, rakyat kecil hanya jadi buruh murah, sementara mafia energi meraup keuntungan. Pemerintah dan aparat harus segera bertindak, jika tidak, publik akan semakin kehilangan kepercayaan,” tegas perwakilan tim investigasi.
Fenomena ini menambah daftar panjang lemahnya tata kelola energi di daerah penghasil minyak. Jika tidak segera ditindak, Jambi berpotensi menjadi “ladang liar” eksploitasi minyak yang tidak hanya merugikan negara, tapi juga mengancam keselamatan masyarakat dan kelestarian lingkungan.
Red Joner simarmata